Jelajah Istana Kasunanan Surakarta : Part 1

Jujur saya akui agak malas untuk menulis lagi. Tapi entah kenapa, tiba-tiba menjadi semangat untuk memulai mengisi blog saya dengan postingan baru. Okesip, Perjalanan Menjelajahi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kayaknya belum sempat terposting. Sudah cukup lama sih, tapi tak apalah. Dan saatnya mulai…

>> Sitihinggil : Dari Sinilah Kami Mulai

Jangankan bermimpi, terbayangpun tak pernah terlintas dalam pikiranku. Menjelajah Istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebuah keberuntungan, sekaligus kesempatan untuk sowan ke Istana Biru.

Pagi itu mungkin menjadi hari yang istimewa. Rabu pagi yang cerah dengan hati bungah untuk bersiap Blusukan Jelajah Istana Surakarta. Blusukan kali ini memang berbeda dengan kegiatan Blusukan Solo sebelumnya. Selain rute yang panjang dan banyak, kegiatan ini juga diikuti peserta dengan jumlah yang tak sedikit, seratus orang lebih men!!, plus kedatangan tamu dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan – KEMENDIKBUD. Sugeng Rawuh..

Foto By : Halim Santoso

Mengambil rute nDalem Kepangeranan, Baluwarti, dan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, para peserta Blusukan Solo berombongan beriringan siap menjelajah Keraton, Baluwarti, dan seisinya. Pemandangan berbeda juga nampak dari peserta dan panitia pagi itu, berbalut kain batik lengkap dengan samir sebagai penanda yang harus dikenakan ketika memasuki wilayah Kedhaton.

Kegiatan pagi itu dimulai pukul delapan pagi. Mengambil start dari depan Pagelaran menuju Sitihinggil untuk singgah sarapan tenongan dan pembagian kelompok perjalanan. Dibawah atap Sitihinggil yang teduh itulah, para peserta mulai mendapat penjelasan dari narasumber, yakni Pak Suparyadi dan Mas Heri Priyatmoko.

Namun sayang, sesi ini terpaksa saya lewatkan dan harus menunggu peserta yang belum datang, pluuss ada tugas tambahan mengangkat meja registrasi yang beratnya melebihi 50 kilo karung beras. Haha..

Foto By : Halim Santoso

Sitihinggil sendiri merupakan salah satu bagain dari bangunan-bangunan yang ada di Keraton Surakarta Hadiningrat. Berasal dari kata siti yang berarati tanah, dan inggil/hinggil yang berarti tinggi. Jika dilihat dari struktur dan letak bangunannya, Sitihinggil memang terlihat lebih tinggi dari bangunan di sekitarnya. Jika memasuki Sitihinggil, akan kita dapati beberapa bangunan yang berada di kompleks ini. Bangsal Sewayana merupakan bangsal terdepan berbentuk aula besar, disinilah zaman dulu para bupati dan punggawa kerajaan sebo menghadap raja-raja Surakarta. Tepat ditengah-tengah Bangsal Sewayana, terdapat satu bangunan pendopo kecil dengan 4 tiang penyangga berukir, disebut Bangsal Manguntur Tangkil, tempat dhampar kencono atau dhampar keprabon diletakkan, sekaligus tempat Raja bertahkta pada upacara-upacara Kebesaran Kerajaan.

Belakang Bangsal Mnguntur Tangkil terdapat sebuah bangsal besar bernama Bangsal Witono, tempat para abdi dalem keparak membawa ampilan dalem dan pusaka-pusaka pada saat upacara Kerajaan. Tepat ditengah Bangsal Witono terdapat satu lagi ruangan bangsal berbentuk limasan, dan berdinding kaca tertutup kelambu. Konon disinilah bersemayam Nyai Setomi, sebuah meriam peninggalan Kerajaan Mataram Islam pada zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma. Meriam buatan Portugis dengan nama Sin Thomb tersebut konon memiliki pasangan bernama Kyai Setomo atau Kyai Jagur yang tertinggal pada saat penyerangan Sultan Agung ke Batavia tahun 1645. Saat ini, meriam Kyai Jagur berada di Kompleks Museum Fatahillah Jakarta. Sebelah timur bangunan-bangunan inti Sitihinggil, terdapat satu bangunan bernama Bangsal Angun-Angun, tempat gamelan Kodhok Ngorek dibunyikan pada saat menyambut arak-arakan pembawa gunungan Grebeg. Sedangkan bangunan sebelah dinamakan Bale Bang, tempat gamelan-gamelan pusaka kerajaan.

Melewati Kori Renteng dan Kori Mangu, terdapat pintu besar bernama Kori Brojonolo Lor atau Lawang Gapit Lor, diapit dua bangsal diluar bernama Bangsal Brojonolo, dan dua bangsal didalam yakni Bangsal Wisomarto. Halaman luas Kamandungan terbentang tepat didepan, disinilah kami disambut meriah parade bregodo prajurit Keraton Surakarta, lengkap dengan atributnya. Kapan lagi coba disambut seperti tamu-tamu penting kerajaan?
Penyambutan itu hanya sebatas cerita yang sempat mampir ditelingaku. Sebab, saya juga tak sempat menyaksikan parade prajurit ini. Haduuh..

Kamandungan

Kamandungan

Foto By : Halim Santoso

Dari kompleks Kamandungan ini, kami dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 75 peserta dengan satu narasumber, plus beberapa volunteer. Kelompok pertama menuju Keraton bagian timur, sedangkan kelompok 2 menjelajah keraton bagian barat. Berkesempatan berada di kelompok dua, tak saya lewatkan untuk mengetahui sejarah detail Keraton Surakarta, atau paling tidak letak bangunan-bangunan Keraton di sayap barat.

 

>> nDalem Kepangeranan : kediaman Para Pangeran Kasunanan Surakarta

Kalau orang Jawa bilang singup atau beraura. Kesan yang saya tangkap ketika menjejakan kaki pertama kali di kediaman Para Pangeran Kasunanan Surakarta. Maklum saja, nDalem atau rumah kuno jaman dulu mempunyai kharisma yang berbeda dari rumah kebanyakan. Beberapa nDalem memang masih nampak gagah (dari luar), tapi rapuh (di dalam) termakan usia. Sebagian lagi masih bisa diselamatkan, sebagiannya lagi rusak tak terawat.

 

Sasana Mulya, Sasana Narendro, Sasana Putro

Kami melewati beberapa bangunan tua yang eksotis, diantaranya Masjid Paromosono di Kampung Suronatan, semacam pintu cadangan Kori Talang Paten, dan Gedong Kreto tempat menyimpan kereta kerajaan. Sebelah barat Gedong Kreto terdapat sebuah pendhopo besar bernama Sasana Mulyo yang dilengkapi dengan gazebo dan Lojen-nya disebelah barat. Pendhopo ini dulunya merupakan tempat tinggal Sri Susuhunan Paku Buwono XI (1939-1945), dan tempat kelahiran raja berikutnya, Sri Susuhunan Paku Buwono XII (1945-2004). Tepat didepan Sasana Mulya, terletak Sasana Narendra dan Sasana Putro, tempat tinggal resmi raja yang bertahta saat ini, Sri Susuhunan Paku Buwono XIII. Namun sayang, kami hanya bisa melihat dari luar dan tak bisa memasuki kawasan tersebut.

nDalem Suryohamijayan : nDalem Mewah Pangeran Suryohamijoyo

Berjalan kembali kearah barat, tujuan kami selanjutnya adalah nDalem Suryohamijayan. nDalem ini merupakan kediaman GPH.Suryohamijoyo, putra ke-35 dari Sri Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939). Ada keunikan dari nDalem Kepangeranan satu ini. Di halamannya yang luas, kami dapati sebuah lapangan tenis yang masih digunakan hingga sekarang. Lapangan tenis inilah yang menjadi venue tenis pada penyelenggaraan PON I di Solo. Selain itu, nDalem ini juga menjadi saksi tumbuh dan berkembangnya Sendratari Ramayana.

Pangeran Suryohamijoyo ( Koleksi : KITLV )

Pangeran Suryohamijoyo ( Koleksi : KITLV )

Kenangan sejarah itu nampaknya tak seindah bangunan nDalem Suryohamijayan sekarang. Kondisinya yang memprihatinkan seolah tak menjadi gambaran kemegahan dan keindahan nDalem ini jaman dulu. Ketika kami memasuki area pendhopo, beberapa bagian memang sudah terlihat hancur. Tiang soko-nya terlihat tak tegak lagi, atap pendoponya pun juga berlubang. Masuk lebih dalam, kami dapati Pringgitan yang juga bernasib sama. Tak berbeda dengan nDalem Ageng-nya, bagian inti berupa Krobongan-nya pun sudah tak terlihat, dan hanya menyisakan ruangan kecil tanpa kesakralan.

Nampaknya, nDalem Suryohamijayan ini didesain mewah pada jamannya. Hal ini terbukti setelah kami memasuki areanya lebih dalam. Masih bisa kami jumpai beberapa ruangan, seperti kamar tidur GPH.Suryohamijoyo dan garwo permaisuri, ruang makan, ruang para garwo selir, kamar mandi mewah, bar kecil sebagai sarana hiburan, dan kulkas kuno berpintu tebal layaknya pintu pesawat. Bisa jadi kulkas kuno ini merupakan barang mewah pada zamannya dan hanya orang tertentu saja yang bisa memilikinya.

Kegemaran Sang Pangeran akan olahraga membuat rumahnya disulap bak arena olahraga. Selain lapangan tenis dihalaman depan, masih terdapatnya bekas kandang kuda dan area memanah di halaman belakang nampaknya menjadi arena Sang Pangeran menyalurkan hobinya. Namun kandang kuda dan arena memanah pun kini hanya tinggal cerita, hanya tinggal reruntuhan yang dibiarkan kalah tinggi dengan semak dan rumput-rumput liar. Kembali, satu saksi sejarah sekaligus cagar budaya tenggelam oleh masa dan tergilas oleh roda waktu. Wuiihh..

Bekas Kandang Kuda

Bekas Kandang Kuda

nDalem Purwodiningratan : Kesempatan Langka Melihat Krobongan

Kami tinggalkan nDalem Suryohamijayan menuju tujuan berikutnya, nDalem Purwodiningratan. Sesuai namanya, nDalem ini merupakan kediaman dari Pangeran Purwodiningrat. nDalem Purwodiningratan dipagari tembok tinggi dan tebal, dengan kori atau pintu besar sebagai pintu gerbang. Saya sendiri belum tahu pasti silsilah sejarah mengenai keberadaan bangunan ini. Konon, nDalem ini usianya lebih tua dari keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat. Namun versi lain mengatakan, bahwa nDalem ini dibangun oleh Sri Susuhunan Paku Buwono IV (1788-1820). Saya mencoba memastikan kembali dengan bertanya pada salah seorang penghuni rumah ini, yang merupakan wayah atau cucu Eyang Purwodiningrat. Beliau (maaf : lupa namanya) bercerita bahwa Eyang Purwodiningrat merupakan suami dari Gusti Raden Ayu Purbanegara, putri dalem Sri Susuhunan Paku Buwono IX (1861-1893). Kesan megah dan indah masih bisa saya rasakan ketika memasuki pendhopo, pringgitan, dan nDalem-nya. nDalem Purwodiningratan menjadi salah satu rumah pangeran yang masih asli dan lengkap dari beberapa kediaman pangeran lainnya disekitar keraton.

Tanggal 9 April 2014. Tak ada yang istimewa dihari ini selain pesta rakyat bernama pemilu. Tak terlalu ambil pusing dengan kegiatan coblos mencoblos dan mencoblosi kertas berisi seabreg daftar nama yang tak kukenal satupun siapa dia. Okesip, yang penting hari ini Libur. Biasalah, saya tak pernah betah dirumah jika hari libur seperti hari ini. Rencana mengelilingi kembali nDalem Kepangeranan Keraton Surakarta bersama teman-teman akhirnya kesampaian. Tujuan kami hari ini adalah beberapa nDalem di sekitar Keraton Surakarta yang semoga saja masih boleh dikunjungi meski tak berstatus ‘blusukan resmi’.

Menunggu cukup lama di depan kori besar untuk mendapat izin memasuki nDalem, akhirnya kami ditemui oleh seorang nenek yang tampak masih sehat dan gesit, Eyang Raden Ayu (R.Ay) Notokusumo namanya. Kami dibawa menuju nDalem dengan melewati pendhopo dan koridor pos jaga. Pintu kecil samping berwarna coklat menjadi akses menuju ke dalam. Pintu masih terkunci rapat. Eyang Notokusumo segera membuka pintu. Dari pintu itulah kami bisa melihat nDalem yang terbentang luas dengan Krobongan yang selalu tampak misterius. Jendela yang semula tertutup rapat akhirnya dibuka. Hawa pengap menyesakkan hidung berangsur memudar. Suasana masih sunyi. Saya mencoba memecah kesunyian dengan langsung bertanya kepada Eyang Noto. Gaya bicaranya yang ‘lucu’ karena gigi yang sudah tak ada membuat suasana tak begitu tegang. Eyang Noto mulai bercerita :

nDalem Purwodiningratan merupakan nDalem kediaman Kanjeng Raden Mas Haryo Tumenggung (KRMHT) Purwodiningrat VI. Beliau merupakan putra dari Kanjeng Purwodiningrat V, dan merupakan cucu dari Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Riyo Atmojo. Saat ini, nDalem Purwodiningratan ditempati oleh para putra dan wayah Eyang Purwodiningrat VI.

Eyang Noto juga bercerita bahwa dirinya merupakan wayah atau cucu Eyang Purwodiningrat VI dari putro pertama, yakni R.Ay Noto Suputro. Sementara, Eyang Purwodiningrat VI sendiri adalah cucu Sri Susuhunan Paku Buwono IX dari putri yang bernama Gusti Raden Ayu (GRAy.) Purbonagoro, satu saudara dengan Sri Susuhunan Paku Buwono X.

Cerita semakin menarik ketika Eyang Noto menceritakan bahwa Eyang Purwodiningrat VI adalah wayah atau cucu sekaligus mantu dalem. Sebab putrid Sri Susuhunan Paku Buwono X yang bernama GRAy. Purwodiningrat menikah dengan Eyang Purwodiningrat VI ( sepupu-an).

Saya masih bingung menerjemahkan silsilah yang diceritakan Eyang Noto. Tapi tak apalah, rekaman dari HP saya pikir sudah cukup membantu. Sebetulnya masih ada satu orang lagi yang akan kami temui, yakni Eyang Nyoto. Keadaan beliau yang sedang gerah, tak memungkinkan untuk ditemui. Eyang Nyoto adalah sesepuh di kawasan nDalem Purwodiningratan. Secara silsilah, beliau merupakan menantu Eyang Purwodiningrat VI dari putri ragil atau bungsu. Total ada 12 putra putri Eyang Purwodiningrat VI. 9 diantaranya sudah meninggal dan tersisa hanya 3 orang, termasuk Eyang Nyoto sebagai menantunya.

Kami mencoba melihat sekeliling nDalem. Terlihat banyak Foto keluarga yang terpasang didinding. Foto raja-raja Surakarta PB VII, PB VIII, PB IX, dan PB X. Terlihat juga Foto kuno Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Paku Buwono, permaisuri PB X. Anehnya, terpasang juga foto Mangkunegoro IV dan Mangkunegoro VII yang tak biasa di keluarga besar Purwodiningrat. Tapi rasa penasaran itu terjawab ketika Eyang Noto kembali ‘mendongeng’ silsilah keluarga Mangkunegaran di Keraton Surakarta. Secara sederhana begini, putra Sri Mangkunegoro IV menikah dengan R.Ay Noto Suputro yang tak lain dan tak bukan adalah ibu dari Eyang Notokusumo, jadi bisa dikatakan Eyang Notokusumo merupakan cucu Sri Mangkunegoro IV.

Jujur agak ruwet ‘mengeja’ riwayat silsilah sebuah keluarga besar. Apalagi keluarga Keraton yang kebanyakan masih satu garis keturunan. Tapi seruwet apapun, jika dirunut satu persatu maka akan ketemu pada satu titik. Okesip..

Puas dengan penjelasan Eyang Notokusumo, kami diajak naik ke kajogan atau lantai tinggi di area nDalem. Tapi kami diharuskan untuk melepas alas kaki, sandal maupun sepatu. Dinding berupa gebyok kayu itu dipenuhi dengan foto keluarga Purwodiningrat. Di beberapa titik lantai masih terdapat sesajian. Terdapat 3 ruangan di area ini. Senthong kanan, Senthong kiri, dan ruang paling saya kagumi : Krobongan. Eyang Notokusumo membuka pintu Krobongan. Saya hanya melongo, melihat dengan seksama apa yang dilakukan Eyang Noto. Sebab banyak orang mengatakan, Krobongan merupakan ruang paling sakral dan ‘horor’, tapi agaknya tidak buat Eyang Noto yang tak canggung dan tanpa ragu menyingkap alas Krobongan-nya berupa tikar lusuh. Krobongan nDalem Purwodiningratan terhitung masih bagus dari beberapa nDalem lainnya. Kepedulian seluruh keluarga besar yang ikut andil dalam merawat nDalem membuatnya masih tampak terurus. Krobongan dihiasi dengan bantal guling bermotif cinden yang masih baru, sebagai ganti sarung sebelumnya yang sudah lapuk dimakan usia. Eyang Noto sendiri yang menjahit sarung dan rumbai-rumbai merah putihnya.

Meski sudah berstatus sebagai BCB alias Benda Cagar Budaya, tapi perawatan dan perbaikan nDalem hanya sebatas dilakukan oleh pihak keluarga besar. Pemerintah belum cukup andil dalam kepedulian melestarikan benda cagar budaya, kecuali hanya sebatas pelabelan saja. Saat ini, kondisi nDalem sangat butuh perbaikan dan perawatan, sebelum semua terlambat untuk diatasi, dan sebelum kita hanya bisa melongo melihat reruntuhannya saja..

Hujan siang ini masih menderas. Terdengar dari atas atap nDalem yang semakin riuh suara air saling berkejaran. Suasana berubah drastis dan membuat bulu kuduk agak ‘merinding’. Pesona nDalem dengan auranya yang kuat semakin terasa. Kami tinggalkan nDalem yang penuh kebisuan. Melangkah keluar seiring dengan reda-nya hujan yang ternyata hanya sekejap..

Satu keberuntungan bagi kami adalah ketika diijinkan melihat isi dalam ruangan paling sakral bernama Krobongan yang masih asli dan terawat. Krobongan adalah ruang tengah yang biasa terdapat di rumah-rumah tradisional Jawa, berbentuk ruang khusus dengan berbagai aksesoris didalamnya, seperti bantal, guling, kasur, dan kelambu. Biasanya, tepat didepannya terdapat dua patung Loro Blonyo atau Sri Sadono. Ruang kecil ini biasanya digunakan untuk tempat upacara pernikahan adat Jawa. Dalam konsep Jawa, krobongan merupakan lambang kesuburan. Di tempat inilah, sepasang pengantin baru melakukan malam pertama mereka. Jaman dulu, saat berlangsungnya malam pertama itulah, emban atau pengasuh akan berjaga sepanjang malam dengan menyalakan lampu thintir di depan krobongan. Ia akan memastikan, apakah proses ‘kesuburan’ berjalan lancar atau tidak. Krobongan ini juga berfungsi sebagai tempat menyimpan pusaka keluarga.

Selain keberadaan nDalem yang masih asli, rumah ini juga dilengkapi dengan taman-taman teduh yang menyejukkan mata.

nDalem Mangkubumen

Menyusuri jalanan Baluwarti yang panjang, mengantarkan langkah kami pada tujuan berikutnya yakni nDalem Mangkubumen, yang merupakan kediaman dari Pangeran Mangkubumi. Ia adalah putra Sri Susuhunan Paku Buwono XI (1939-1945), dan merupakan kakak dari raja yang bertahta sesudahnya GRM. Suryo Guritno yang kelak menjadi Sri Susuhunan Paku Buwono XII (1945-2004). Kesempatan siang itu kami melewati bagian belakang nDalem Mangkubumen yang langsung menuju pada ruang makan, dan beberapa ruang lainnya. nDalem Mangkubumen juga mempunyai struktur dan tata letak seperti rumah Jawa pada umumnya, terdiri dari topengan atau kuncungan, pendhopo, pringgitan, nDalem, dan beberapa ruang tambahan semi modern. Bahkan seperti kebanyakan nDalem Pangeran Kasunanan lainnya, nDalem ini pun tak kalah “aura” nya. Kesan kewibawaan yang tergambar membuat rumah ini seolah-olah hidup kembali seperti jamannya.

 Pamardi Putri : Sekolahnya Para Gusti Putri Keraton

Agak sayang sebetulnya melewatkan sebuah gedung kuno bergaya indis, sekolah kejuruan SMK Kasatriyan. Masih adanya kegiatan belajar mengajar membuat kami tak bisa masuk ke dalam area sekolah. Satu fakta sejarah yang saya ketahui mengenai sekolah itu. Sekolah yang dulunya bernama Pamardi Putri tersebut merupakan sekolah khusus putri-putri raja dan kerabatnya. Didirikan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939) pada 1927, sebagai bentuk curahan kasih sayang kepada putri tercintanya, Gusti Pembayun. Sekolah Pamardi Putri nampaknya menjadi model sekolah tempo dulu yang masih tetap dijaga keasliannya. Sekolah ini konon masih memiliki model bangku sekolah tempo dulu, wastafel antik, dan sebuah lukisan Gusti Pembayun yang berada di ruang guru. Menurut cerita, lukisan tersebut mempunyai kesan yang benar-benar hidup, mata Gusti di lukisan ini seolah-olah benar-benar mengikuti kemana gerakan setiap orang yang melihatnya. Hiiii…

Bertemu di Magangan

Cuaca siang yang panas menyengat, ditambah haus yang tak tertahan seolah menjadi teman kami selama menyusuri nDalem Kepangeranan di dalam tebalnya tembok Baluwarti. Kami sengaja lewati satu nDalem Purwohamijayan untuk segera menuju tujuan kami berikutnya, Magangan. Sepanjang perjalanan menuju Magangan pun, kami lewati juga beberapa nDalem para Pangeran Kasunanan seperti nDalem Ngabeyan, nDalem Kayonan, dan nDalem Kotawaringin, yang kesemuanya masih berdiri megah.

Menuju Kompleks Magangan di dalam Keraton ternyata harus melewati dua lapis pintu besar dan tebal. Pintu pertama disebut Kori Gadhung Melati yang dihiasi dengan ragam ukir tembok nan indah. Sedangkan pintu kedua disebut Kori Saloka. Halaman antara dua kori tersebut terdapat sekolah dan pemukiman warga, sebuah pemandangan yang tak biasa di area Keraton Surakarta. Berjalan berombongan, seluruh peserta yang bertemu dititik Magangan kembali dibuat terkagum dengan “surprise” dari panitia. Begitu Kori dibuka, sudah bersiap bregodo prajurit keraton memainkan atraksi olah keprajuritan menyambut kami. Para prajurit yang membawa atribut lengkap berupa pedang panjang, panji-panji Keraton, dan pistol tersebut begitu kompak sesuai komando sang senopati. Gagah meski fisik tak lagi muda, sebab kebanyakan diantara para prajurit keraton sudah berusia sepuh, dan tetap setia suwito di Keraton Surakarta.

Megahnya Pendhopo Magangan menjadi tempat kami istirahat. Pendhopo dengan halamannya yang luas ini dulunya digunakan untuk tempat berlatih para prajurit Keraton. Konon ditempat ini juga tersimpan peralatan khitan putra Raja, peralatan membuat gunungan, dan berbagai senjata keprajuritan. Tak heran, jika ada satu ruangan yang dinamakan Kamar Bedhil.

Istirahat kami sangat berkesan dengan hadirnya KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo) Puger yang menceritakan sejarah panjang Keraton Surakarta beserta makna simbolis setiap bangunan yang ada. Meski tak semua dapat diceritakan, tapi di akhir istirahat para peserta diberikan kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi langsung dengan Gusti Puger.

Cerita Gusti Puger seolah mengembalikan gambaran masa kejayaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat zaman dulu. Mungkin saat ini kejayaan keraton hanya tersimpan dalam memorial bisu di balik tembok tebal dan bangunannya yang megah. Zaman yang sudah berubah, membuat Keraton pun juga sudah berubah. Kami tak kan pernah tahu, apakah ‘kejayaan dan kewibawaan’ Keraton itu akan bisa kembali lagi….

NB : sebagian data saya ambil dari blusukansolo.tumblr.com  dan jejak-bocahilang.com

 

6 pemikiran pada “Jelajah Istana Kasunanan Surakarta : Part 1

Tinggalkan komentar