Sosok : Paku Buwono X, Raja Surakarta yang penuh kharisma

Pagi itu suasana kedhaton begitu meriah. Burung-burung berkicau bersahutan sebagai pertanda hadirnya sebuah kebahagiaan. Terlihat wajah-wajah yang tadinya tegang kini berubah menjadi raut muka penuh keceriaan. Dari lantai paling atas Songgo Buwono terdengar suara abdi dalem membunyikan tambur berkeliling mengitari Panggung. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar gamelan Kodok Ngorek Sitihinggil yang bersahutan dengan dentuman bunyi meriam.

Tepat hari itu, seluruh penghuni Keraton Surakarta Hadiningrat sedang berbahagia. Seorang anak telah lahir. Tepat seperti yang diramalkan oleh pujangga terkenal R.Ng Ronggowarsito, bahwa anak itu akan lahir dengan hayu, selamat, dan tak ada suatu halangan apapun.

Raden Mas Gusti Sayyidin Malikul Kusna, begitulah nama bayi itu disematkan oleh kedua orang tuanya, Susuhunan Paku Buwono IX dan Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono, dengan harapan kelak calon putra mahkota itu bisa menjadi Raja yang memiliki kebaikan dan bisa menjadi panutan…

Susuhunan Paku Buwono X

Susuhunan Paku Buwono X

Raden Mas Gusti Sayyidin Malikul Kusna yang kelak menjadi Susuhunan Paku Buwono X merupakan raja dinasti Mataram Surakarta yang paling masyur dan berpengaruh. Namanya yang selalu disimbolkan dengan ‘PB X’ itu banyak dijumpai diberbagai bangunan dan monumen. Ada sisi menarik dari kehidupan Susuhunan Paku Buwono X yang sudah banyak diceritakan dalam berbagai buku, diantaranya : ‘Raja, Priyayi, dan Kawulo-nya Kuntowijoyo, ‘Kehidupan Dunia Keraton Surakarta‘ sebuah desertasi-nya Darsiti Suratman, bahkan berbagai surat kabar jaman dulu secara lengkap menggambarkan bagaimana berpengaruhnya Raja Surakarta itu terhadap kehidupan masyarakat Jawa pada saat itu.

Namun banyak mitos menyebut, kekuasaan wangsa Mataram Islam akan habis di trah Raja ke-10. Mitos itu ternyata terbukti. Percaya tak percaya, banyak spekulasi muncul dengan angka 10 itu. Masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X merupakan tahun-tahun gemilang bagi perkembangan kerajaan Jawa. Ia dikenal sebagai raja Jawa yang telah menghabiskan kamukten dan kewibawaanya, sehingga tak menyisakan untuk raja berikutnya yakni Susuhunan Paku B uwono XI dan Susuhunan Paku Buwono XII. Hal ini dibuktikan dengan bergabungnya Keraton Surakarta ke dalam NKRI pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Praktis raja dan kerajaan hanya sebagai simbol budaya tanpa ada kekuasaan lagi.

Pada jaman Susuhunan Paku Buwono X, dibangun sebuah bangunan baru sebagai simbol keraton kecil yang diberi nama Keraton Kilen. Nampaknya ia sudah tanggap dengan dibangunnya bangunan tambahan itu. Siklus ‘prahara’ keraton yang terjadi setiap 200 tahun sekali sampai sekarang masih diyakini kebenarannya. 31 Januari 1985, Keraton Surakarta terbakar dan menghabiskan hampir seluruh bangunan-bangunan inti keraton. Hal itu diyakini sebagai hilangnya wahyu keraton, dan sejak peristiwa naas itu, setiap upacara adat keraton dilakukan di Keraton Kilen.

Sama halnya yang ada di Keraton Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono X yang bertahta saat ini tak mempunyai putra mahkota sebagai penggantinya, sebab ia hanya mempunyai keturunan yang kesemuanya perempuan. Hal ini pun juga diyakini sebagai ‘habisnya’ trah Mataram, meski calon raja penggantinya kelak adalah adik raja yang saat ini memimpin.

Satu kisah menarik juga dihubungkan dengan habisnya trah Raja ke-10. Diceritakan suatu ketika Susuhunan Paku Buwono X ingin menjalin ‘kontak’ dengan Ratu Kidul di Panggung Sanggobuwono. Ketika Susuhunan Paku Buwono X dan Ratu Kidul menuruni tangga Panggung Sanggobuwono, maka tiba-tiba kaki Paku Buwono X terpeleset dan secara reflek Ratu Kidul mengucap, “Anakku…Ngger!”. Ucapan Ratu Kidul itu dianggap sebagai sabda pandhita ratu yang tidak bisa ditarik, sehingga sejak saat itu raja Surakarta dan keturunannya dianggap sebagai anak Ratu Kidul. Kisah ini bisa dipahami sebagai sebuah simbol putusnya kontrak antara keturunan Mataram-Surakarta dengan (mitos) Ratu Kidul yang bersumpah setia akan selalu membantu keturunan Mataram.

Tapi dibalik itu semua, nampaknya Susuhunan Paku Buwono X pandai ‘membaca’ jaman. Ia paham, posisinya saat itu sudah dihadapkan dengan jaman modern yang lebih logis dan rasional. Perkembangan dunia sudah semakin pesat, banyak negara yang sudah maju, begitu juga dengan kemajuan berfikir masyarakatnya. Mitos Ratu Kidul terkalahkan dengan tank-tank perang, pesawat, dan peralatan canggih lainnya yang sangat modern pada jamannya. Putusnya kontrak Ratu Kidul dengan keturunan Mataram di masa Susuhunan Paku Buwono X semakin menguatkan bahwa kekuasaan Keraton Surakarta sudah habis.

Sosok Susuhunan Paku Buwono X memang mejadi sosok raja paling istimewa dalam dinasti Mataram- Surakarta. Istimewa, sebab banyak cerita lisan yang mengisahkan betapa saktinya sang Raja. Seorang abdi dalem keraton menceritakan tentang kesaktiannya menghentikan banjir hanya dengan menunjuk ke air bah yang sedang melanda. Konon ia juga merupakan raja yang ‘upata’ nya sangat manjur. Orang bisa berubah seketika, jika raja sudah murka dan menyumpahinya. Mungkin itu hanya sekedar cerita-cerita lisan sebagai ‘bumbu’ betapa raja atau pemimpin itu memang harus dihormati dan ditakuti, disamping kultus raja yang melekat karena memang masih mempunyai ‘kewingitan’. Susuhunan Paku Buwono X juga dikenal sebagai raja dermawan yang selalu bersedekah dengan cara menyebar udhik-udhik atau uang recehan setiap kali bepergian.

Sebetulnya masih banyak cerita lain mengenai Susuhunan Paku Buwono X. Saya mencoba menceritakan kisah Raja bergelar Ingkang Minulyo saha Ingkang Wicaksono itu kedalam bahasa bebas yang saya terjemahkan dari sebuah surat kabar (Koran) lama : Kajawen tertanggal 24 Februari 1939

Dikisahkan, setelah 3 bulan menikah, akhirnya permaisuri Susuhunan Paku buwono IX, Kanjeng Ratu Pakubuwana ngidam ingin sekali makan gudhang pakis raja. Kemudian Susuhunan Paku buwono IX mengutus Raden Mas Inggris atau Bandara Kanjeng Pangeran Kolonel Arya Purbanagara untuk bertemu dengan Tuwan Jansemit di Gumawang, untuk membeli daun pakis raja. Raden Mas Inggris lantas segera berangkat dengan kapal dan ditemani seorang kerabat raja. Sesampainya di Gumawang, mereka bertemu dengan Tuwan Jansemit dan akhirnya mengutarakan maksud dan tujuannya. Akhirnya Tuwan Jansemit segera menyuruh Sungkuh untuk mengambil daun pakis raja itu. Tak berapa lama, ia sudah kembali dan membawa daun pakis raja dan segera diserahkan kepada Raden Mas Inggris. Singkat cerita, Raden Mas Inggris kembali ke keraton untuk menyerahkan daun pakis raja kepada Raja dan permaisuri.

Susuhunan Paku Buwono IX, bersama istri Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono

Susuhunan Paku Buwono IX, bersama istri Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono

Ketika kehamilan permaisuri memasuki bulan ke-9, ia kemduian pindah ke Kamar Gading, sebuah kamar paling timur dari nDalem Ageng Probosuyoso. Para putra, kerabat raja, dan abdi dalem laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk berjaga secara bergiliran. Sementara abdi dalem prajurit juga diperintahkan menyiapkan pakurmatan dengan membunyikan meriam dan persiapan baris-berbaris, jika sewaktu-waktu permaisuri melahirkan.

Bersamaan dengan hari Kamis Legi, 21 Rejeb tahun Alip 1795 pukul 9 malam, permaisuri Kanjeng Ratu Paku Buwono mengalami kesakitan. Para kerabat kerja yang sedang berjaga berdoa untuk kelancaran permaisuri, dan berdoa semoga bayi yang dilahirkan adalah seorang laki-laki dengan harapan kesejahteraan untuk selamanya.

Sampai pukul setengah 7 pagi, permaisuri raja melahirkan seorang bayi laki-laki dengan sehat dan selamat. Susuhunan Paku Buwoo IX kemudian memberi tahu pembesar kerabat raja yang sedang berjaga, jika permaisuri sudah melahirkan. Selanjutnya mereka diperintahkan untuk menyiarkan kabar kelahiran. Abdi dalem panambur kemudian membunyikan tambur berkeliling dilantai atas Panggung Songgobuwono. Parjurit Jagasura juga membunyikan meriam. Sementara abdi dalem niyaga membunyikan gamelan Kodok Ngorek di Sitihinggil Lor.

Saat itu, rakyat yang mendengar tanda suara meriam menandai bahwa permaisuri sudah melahirkan seoarang bayi laki-laki. Semua rakyat tua muda laki perempuan sangat berbahagia, sebab sudah cucup lama mereka berharap Sang Raja mempunyai putra laki-laki dari permaisuri yang diharapkan menggantikan Raja kelak. Sebab, menurut pandangan orang jaman dulu, adanya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom itu pasti akan berpengaruh pada kesejahteraan dan kemakmuran negara. Harapan itu akhirnya terkabu; dengan telah lahirnya seorang calon raja. Untuk merayakannya, setiap malam selama sepasar atau lima hari diadakan pesta besar di dalam keraton.

Susuhunan Paku Buwono IX, permaisuri Kanjeng Ratu Paku Buwono, dan ibu ratu Kanjeng Ratu Ageng (janda Susuhunan Paku Buwono VI) merasa sangat bahagia dan bersyukur. Kemudian bayi laki-laki yang lahir tersebut diberi nama Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna. Selanjutnya, bayi kecil itu diangkat anak oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng.

Ratu Ageng ( janda Susuhunan Paku Buwono VI ) bersama putra-putri

Ratu Ageng ( janda Susuhunan Paku Buwono VI ) bersama putra-putri

Gusti Kanjeng Ratu Ageng sangat menyayangi cucunya, Gusti Malikul Khusna. Dari kecil ia selalu dimanja. Sebelum Malikul Khusna kecil menginjak usia dewasa, jika tidur ia selalu ikut neneknya di kediamannya di Kagengan. Tapi setelah dewasa, ia dibuatkan rumah di kadipaten bernama Sasana Hadi.

Sewaktu kecil, RMG. Sayidin Malikul Kusna disusui oleh seorang priyantun dalem atau selir raja bernama Bandara Raden Dayapurnama, dan diasuh oleh emban keraton Raden Ayu Amongsaputra, dengan emban terkenal Nyai Lurah Amongsudibya, Nyai Lurah Lumba, Nyai Lurah Reksakusuma, serta seorang abdi dalem dhukun estri Nyai Lurah Secabawa.

Usia 3 tahun. Saat pesta perayaan Tingalan Dalem Jumenengan Susuhunan Paku Buwono IX pada hari Senin Legi tanggal 27 Jumadilakir Je 1798 atau 4 Oktober 1869, Tuan Residen mengabarkan kepada Susuhunan Paku Buwono IX, bahwa Gubernur Jendral mengirim sebuah telegram dari Betawi yang isinya memberikan perintah untuk menobatkan putra yang masih berusia 3 tahun itu menjadi Pangeran Adipati Anom bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram ingkang kaping V di Surakarta Hadiningrat.

Bersamaan dengan hari Anggoro Kasih, Selasa Kliwon tanggal 7 Sura Alip 1811 atau 29 November 1882, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom disunatkan.

Dikisahkan bahwa ketika memasuki usia remaja, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom menjadi menjadi buah bibir masyarakat dan terkenal karena begitu mempesona. Manis perkataannya sampai meresap dihati dan selalu tepat dalam berbicara. Setiap mengikuti pesta tahun raja dan tahun baru, paginya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom datang ke Loji Karesidenan untuk ber-audiensi dengan menggunakan Bahasa Melayu. Setiap perkataan yang ia ucapkan terasaa begitu jelas, tuntas, dan tepat.

Pada Rabu tanggal 5 Mei 1886, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom mulai memimpin dan memegang jabatan di pengadilan Kadipaten Anom. Pada hari Kamis, 17 Nopember 1887, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom sudah mulai memakai bintang pusaka di Kadipaten.

Pada Kamis, 7 Agustus 1890, atas izin ayahandanya Susuhunan Paku Buwono IX, sang putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom dinikahkan dengan putri KGPAA Mangkunagara IV, Bandara Raden Ayu Sumarti. Acara pernikahan dilakukan didalam keraton. Permasuri baru berganti nama menjadi Kanjeng Ratu Adipati Anom. Namun setelah Pangeran Anom bertahta menjadi raja, namanya juga berganti nama menjadi Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana.

Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono

Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono

Pada malam Jum’at, 13 Mei 1892, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom dipanggil menghadap ayahandanya di Jonggringsalaka ruang sebelah selatan nDalem Ageng Prabasuyasa untuk mendengar wejangan.

Selang setahun, tepatnya pada Jum’at, 16 Maret 1893, Susuhunan Paku Buwono IX meninggal. Kamis, 30 Maret 1893, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram V dinobatkan menjadi raja menggantikan sang ayah, bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama ingkang kaping X.

Raja yang baru itu tergolong mampu dalam mengurus negara, mahir dalam semua bidang, seperti bermacam-macam tari, ahli dalam bidang kalukitan, menciptakan banyak serat atau kitab, tertarik dalam dunia karawitan, dan banyak menciptakan gendhing. Ia juga mendalami ilmu persenjataan, banyak membuat berbagai macam senjata dan keris, menguasai pengetahuan mengenai kuda dan tunggangan, sebab ia juga dikenal sebagai raja yang penyayang kepada binatang.

Selama Susuhunan Paku Buwono X memegang tampuk pemerintahan, keadaan negara nyaris tanpa kendala, karena begitu bagusnya pemerintahan yang membuat kesejahteraan. Ia banyak memberikan dana untuk kesejahteraan umum dalam hal bangunan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Begitu juga ketika Susuhunan Paku Buwono X bertahta, banyak perubahan dan mampu menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat se-negara.

Pernikahannya dengan Kanjeng Ratu Paku Buwana ternyata tak membuahkan keturunan, maka pada Rabu, 27 Oktober 1915, Susuhunan Paku Buwono X menikah lagi dengan Gusti Raden Ayu Mursudarinah, putri dalem Sri Sultan Hamengku Buwono VII di Ngayogyakarta Hadiningrat, dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencana. Permaisuri raja tersebut diberi gelar Gusti Kanjeng Ratu Emas. Setelah empat tahun menikah, pada Selasa 25 Maret 1919, permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Emas melahirkan seorang putri, dan diberi nama Gusti Raden Ayu Sekar Kadhaton Kustiyah. Namun saat dewasa berganti nama menjadi Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.

Ketika Raja berusia 57 tahun, pada Kamis 30 Agustus 1923, Susuhunan Paku Buwono X mendapat gelar baru berpangkat Letnan Jendral. Sehingga sejak saat itu, memakai sebutan baru Ingkang Wicaksana didepan gelar Jendral Mayor. Empat bulan setelah penganugerahan gelar itu, tepatnya pada Kamis 4 Januari 1924, prameswari dalem Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana meninggal, sehingga membuat rasa kesedihan yang mendalam bagi Susuhunan Paku Buwono X.

Senin 20 Februari 1939 pukul 07.30 pagi, duka menyelimuti seluruh kawulo kerajaan. Pada hari itu, Susuhunan Paku Buwono X menghembuskan nafas terakhirnya di usia 74 tahun, dan mengakhiri masa tahtanya selama 48 tahun di Keraton Surakarta Hadiningrat.

Tinggalkan komentar